Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, adapun pendapat yang lebih kuat Wallohu A’lam adalah sebagaimana pendapat Imam Syafi’i bahwasanya apabila mayatnya laki-laki maka posisi imam berada di kepala, dan apabila mayatnya perempuan maka posisi imam berada tepat di tengah mayat [1]. Ada dua hadits yang menguatkan akan pendapat ini ;
Yang pertama adalah hadits dari Abu Gholib al-Khannat beliau mengatakan :
“Aku menyaksikan Anas bin Malik mensholati jenazah laki-laki beliau berdiri disamping kepalanya, maka ketika jenazah tersebut telah diangkat didatangkan jenazah wanita, beliau mensholatinya dengan berdiri di tengah jenazah tersebut, dan diantara kami terdapat Al-‘Alla ibnu Ziyad Al-‘Alawy, ketika dia melihat perbedaan posisi berdiri imam terhadap jenazah laki-laki dan jenazah wanita beliau lantas mengatakan ; “Ya Abu Hamzah, apakah seperti ini Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam berdiri untuk (mensholati- pent.) jenazah laki-laki adalah sebagaimana sengkau berdiri, dan untuk (mensholati- pent.) jenazah wanita adalah sebagaimana engkau berdiri,.?” Anas bin Malik menjawab ; “Benar.”[2]
Yang kedua adalah hadits dari Samroh beliau mengatakan :
“Aku melakukan sholat jenazah dibelakang Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk seorang wanita yang meninggal dalam keadaan nifas, maka Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam berdiri ditengah jenazah wanita tersebut.” [3]
Bagaimana jika jenazahnya banyak.? Jika jenazahnya banyak maka cukup melakukan sholat sekali untuk seluruh jenazah. [4]
Mengantarkan Mayat
Mengantarkan mayat/ jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah terhadap kaum muslimin. [5] Adapun tentang keutamaanya telah kami sebutkan hadits yang menjelaskan tentang hal ini, yaitu hadits Abu Huroiroh yang diriwayatkan Imam Bukhori dalam shohihnya, bahwasanya dengan mengantarkan jenazah akan mendapatkan satu qirot. Demikian juga hadits dari Tsauban dengan lafadz yang agak berbeda yaitu ;
“Bahwa Rasulullah Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa mensholati jenazah, maka ia mendapatkan satu qirot. Jika ia menghadiri penguburannya, maka ia mendapatkan dua qirot. Satu qirot sama dengan gunung uhud.” [6]
Hal ini juga yang dijelaskan Imam Nawawi dalam Syarhu an-Nawawi ‘ala Muslim. [7]
Yang hendaknya kita perhatikan dalam masalah ini adalah :
Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk mempercepat pengurusan jenazah, maka demikian pula ketika membawa jenazah ke pemakaman, sebagaimana sabda beliau ;
“Dari Nabi saw., beliau bersabda: “Percepatlah pengurusan jenazah! Karena, jika jenazah itu baik, maka sudah sepantasnya kalian mempercepatnya menuju kebaikan. Dan kalau tidak demikian, maka adalah keburukan yang kalian letakkan dari leher-leher kalian”[8]
Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang kaum wanita untuk ikut serta dalam mengiringi jenazah sampai ke pemakaman, hal ini sebagaimana yang dikabarkan oleh Ummu ‘Athiyah -semoga Alloh meridhoi beliau- beliau mengatakan ;
“Kami dilarang untuk mengiringi jenazah dan beliau tidak menekankannya atas kami”[9]
Akan tetapi ulama menjelaskan bahwa pelarangan Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam masalah ini adalah pelarangan yang bersifat makruh, bukan pelarangan yang sifatnya haram, sebagaimana perkataan Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits ini : “Maknanya adalah Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang kami dari yang demikian itu dengan pelarangan yang bersifat makruh, bukan pelarangan yang bersifat haram.” [10] Al ‘Adzim Abadi setelah menyebutkan hadits ini beliau juga mengatakan : “Ini menunjukkan bahwasanya pelarangan atas hal itu adalah pelarangan yang bersifat makruh bukan pelarangan yang bersifat haram.” [11]
Meskipun pelarangan itu bersifat makruh tidak seyogyanya kita menganggap remeh akan hal tersebut dan mengabaikannya, dikarenakan Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kita agar senantiasa menjauhi apa-apa yang beliau larang dan mengamalkan apa-apa yang beliau perintahkan sesuai dengan kemampuan, sebagaimana sabda beliau : “Apa yang aku larang maka hendaklah kalian jauhi dan apa yang aku perintahkan maka hendaknya kalian lakukan semampu kalian ” [12]
Menguburkan Mayat
Mayat wajib dikuburkan meskipun dia seorang yang kafir, sebagaimana perintah Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada ‘Ali ketika Abu Tholib (bapaknya ‘Ali) meninggal dunia, sedangkan dia adalah seorang musyrik, beliau Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan :
اذهب فواره ثم لا تحدث شيئا حتى تأتيني فقال : إنه مات مشركا فقال : اذهب فواره
“Pergilah dan makamkanlah dia, kemudian janganlah engkau mengatakan apapun sampai engkau mendatangiku.” ‘Ali mengatakan ; “Sesungguhnya dia seorang musyrik”, maka Nabi mengatakan ; “Pergilah, makamkanlah dia.” [13]
Seorang mukmin tidaklah dikuburkan bersama orang kafir, dan orang kafir tidak dikuburkan bersama orang mukmin. Demikianlah pada masa Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam dan berlanjut hingga pada masa kita sekarang ini, berdasarkan hadits Basyir [14] –yang panjang -semoga Alloh meridhoinya- beliau mengatakan :
بينما أنا أمشي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال : يا ابن الخصاصية ، ما أصبحت تنقم على الله ؟ قلت : ما أصبحت أنقم على الله شيئا ، كل خير فعل الله بي ، فأتى على قبور المشركين ، فقال : سبق هؤلاء خيرا كثيرا – ثلاث مرات – ، ثم أتى على قبور المسلمين ، فقال : لقد أدرك هؤلاء خيرا كثيرا – ثلاث مرات – فبينما هو يمشي إذ حانت منه نظرة ، فإذا هو برجل يمشي بين القبور وعليه نعلان ، فناداه : يا صاحب السبتيتين ألق سبتيتيك فنظر فلما عرف الرجل رسول الله صلى الله عليه وسلم ، خلع نعليه ، فرمى بهما
“Ketika aku berjalan bersama Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau mengatakan kepadaku : ”Wahai Ibnu Khoshosiyah, engkau tidak mengingkari Alloh dan mencela-Nya.?” Aku menjawab : “Aku tidak mengingkari Alloh dan mencela-Nya, semua yang telah Alloh perbuat kepadaku baik,” Lalu beliau sampai pada pemakaman kaum musyrikin, beliau lantas mengatakan : “Mereka telah mendahului kebaikan yang banyak,” -beliau ulangi sampai tiga kali- kemudian beliau sampai di pemakaman kaum muslimin, lantas beliau mengatakan : “Sungguh mereka telah sampai pada kebaikan yang banyak,” -beliau ulangi sampai tiga kali- maka ketika beliau berjalan, tiba-tiba pandanganya tertumpu pada satu arah, ketika itu beliau melihat seorang laki-laki berjalan diantara kubur dengan sepasang terompahnya (alas kaki), maka beliau memanggil laki-laki tersebut : “Wahai orang yang memakai dua terompah, celakalah kamu, lepaskanlah kedua terompahmu itu.!” Laki-laki tersebut memandang Rosululloh, maka ketika dia mengetahui bahwa itu adalah Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam dia segera melepaskan terompahnya dan melemparkannya.”[15]
Perkataan Basyir pada hadits ini : “Lalu beliau sampai pada pemakaman kaum musyrikin”, dan juga : “kemudian beliau sampai di pemakaman kaum muslimin”, ini menunjukkan bahwa pada masa Nabi sudah dibedakan antara pemakaman khusus bagi kaum musyrikin dan pemakaman khusus bagi kaum muslimin. Dan yang lebih menguatkan pendapat ini adalah perbedaan ucapan seorang mukmin yang Nabi ajarkan ketika sedang menziarahi pemakaman kaum muslimin, dan ketika melewati pemakaman kaum musyrik / kafir. [16]
Nabi juga memerintahkan agar memperluas dam memperdalam kubur, sebagaimana sabda beliau :
احفروا و أعمقوا و أوسعوا و ادفنوا الاثنين و الثلاثة في قبر واحد و قدموا أكثرهم قرآنا
“Galilah, dalamkanlah, dan luaskanlah, dan kuburkanlah dua atau tiga (jenazah –pent.) dalam satu kubur, dan dahulukanlah yang hafalan Al Qur’an-nya paling banyak.” [17]
Dari hadits ini juga kita dapati bolehnya menguburkan beberapa orang dalam satu liang lahad, dan mendahulukan orang yang paling banyak hafalan Al Qur’an-nya.
1.Pendapat ini juga yang dipilih Syaikh Alu Bassam dalam kitab beliau Taisirul ‘Allam halaman 195 cetakan Darul Kutub al-‘Ilmiyah .
2.Hadits riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Turmudzi dan Abu Dawud.
3.Diriwayatkan oleh Imam Muslim didalam shohihnya hadits No. 1603
13.Hadits riwayat Ahmad, No. 807 Musnad Imam Ahmad, hadits ini dishohihkan oleh Syaikh al-Albani
14.Nama sebenarnya pada masa jahiliyah adalah Zahmun, lantas Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam menggantinya dengan nama Basyir, dengan mengatakan kepadanya (أنت بشير) “Engkau Basyir”, lihat Shohih Ibnu Hibban hadits No. 3237 Maktabah Syamilah
15.Hadits riwayat Ibnu Hibban No. 3237, Shohih Ibnu Hibban, Syaikh al-Albani mengatakan hadits ini hasan
17.Hadits riwayat Nasa’I, Turmudzi, dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shohih wa Dho’if al-Jami’as-Shoghir juz I halaman 202 Maktabah Syamilah
Recent Comments