Hukum Yang Berkaitan Dengan Makmum Dan ‘Masbuq’

Yang lebih tepat dari dua pendapat ulama bahwasanya orang yang ‘masbuq’ terhitung tidak mendapatkan shalat jamaah, kecuali ia mendapatkan ruku’. Barang siapa yang mendapatkan kurang dari itu maka ia hanya mendapatkan apa yang ia dapatkan dari gerakan shalat, namun tidak terhitung mendapatkan rakaat atau jamaah, apabila di rekaat terakhir. Namun demikian meskipun ia tidak mendapatkan jamaah, ia tetap mendapatkan pahala niat menunaikan shalat jamaah, sebagaimana hadits yang bersumber dari Abu Hurairah yang di riwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasai.
Sebagai contoh seseorang masbuq pada rekaat terakhir, lalu ia tidak mendapatkan ruku’ maka ia terhitung tidak mendapatkan shalat berjamaah. Namun ia tetap mendapatkan pahala niat sebagaimana hadits Abu Hurairah di atas.
Dalil yang menunjukkan bahwa orang yang telah mendapatkan ruku’ berarti ia mendapatkan rekaat atau jamaah adalah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah secara marfu’, ;
إذا جئتم إلى الصلاة ونحن سجود فاسجدوا ولا تعدوها شيئا ومن أدرك ركعة فقد أدرك الصلاة
“Apabila kalian mendatangi shalat sedangkan kami sedang sujud maka sujudlah kalian, dan janganlah kalian menghitungnya (sebagai bagian dari shalat), dan barang siapa yang mendapatkan rekaat maka ia mendapatkan shalat.”
Hadits di atas di riwayatkan oleh Abu Dawud, dalam lafadz yang lain di sebutkan ;
من أدرك الركوع أدرك الركعة
“Barang siapa mendapatkan ruku’ maka ia mendapatkan rekaat.”
Syaikh Al Albani mengatakan dalam Silsilah Shahihah sanadnya shahih dari perkataan Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar.
Apabila seorang yang masbuq mendapatkan Imam dalam keadaan ruku’ maka hendaknya ia bertakbir takbiratul ikhram lalu bertakbir untuk ruku’. Namun apabila ia hanya mengerjakan takbir untuk ruku’ maka sudah mencukupi.
Orang yang masbuq tidak boleh beranjak berdiri sebelum imam mengucapkan salam yang ke dua. Bagi makmum yang berada di belakang imam yang melakukan shalat jahr (bacaan keras) maka wajib baginya untuk mendengarkan bacaan imam, dan tidak boleh ia membaca sedangkan imam saat itu membaca secara jahr. Baik surat Al Fatihah ataupun surat lainnya. Dalilnya adalah firman Alloh Ta’ala ;
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS : Al A’raaf : 204)
Imam Ahmad mengatakan ;
اجمعوا على أن هذه الآية في الصلاة
“Para ulama sepakat bahwa ayat ini berkaitan dengan bacaan imam tatkala shalat berjamaah.”
Memang terdapat sebagian ulama yang berpendapat bahwa meskipun dalam keadaan shalat jahr (bacaan keras) makmum juga di wajibkan membaca Al Fatihah. Mereka berdalil dengan sabda Nabi ;
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat (shalat tidak sah) bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah.”
Mereka berpendapat dengan hadits yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari di atas bahwa hal itu juga berlaku meskipun dalah shalat jahr. Namun ini merupakan pendapat yang lemah di tinjau dari beberapa sisi. Pertama adanya ijma’ kesepakatan ulama sebagaimana di kemukakan oleh Imam Ahmad di atas, bahwa Al Qur’an surat Al A’raaf ayat 204 berkaitan dengan masalah shalat yang sifatnya jahr.
Kedua takmin (ucapan Amin) yang di lakukan oleh makmum hal itu di posisikan sama dengan bacaan yang telah di baca oleh imam. Apa dalilnya,.? Dalilnya adalah firman Alloh Ta’ala yang di tujukan kepada Nabi Musa dan Harun ;
قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا
“AlIah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua,.” (QS : Yunus : 89)
Pada ayat sebelumnya Alloh mengutip doa yang di lakukan oleh Nabi Musa ;
وَقَالَ مُوسَىٰ رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ ۖ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَىٰ أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّىٰ يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ
“Musa berkata: “Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Rabb Kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Rabb kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih”.” (QS : Yunus : 88)
Kita lihat pada surat Yunus ayat ke delapan puluh delapan (88) di atas, yang berdoa adalah Nabi Musa, sedangkan Nabi Harun hanyalah mengamini doa yang di lafadzkan Nabi Musa di atas, namun lihatlah jawaban Alloh atas doa yang di panjatkan oleh Nabi Musa diatas, sebagaimana ayat sesudahnya (89), Alloh berfirman {“Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua,.”}.
Ini menunujukkan bahwa Alloh menganggap ucapan ‘takmin’ (Amin) yang di lakukan oleh Nabi Harun kedudukannya sama dengan ucapan doa yang di panjatkan oleh Nabi Musa.
Apabila shalat yang di lakukan adalah shalat yang sir (lirih bacaannya) atau dalam keadaan seorang makmum tidak mendengar bacaan imam, maka dalam keadaan ini makmum membaca Al Fatihah. Dengan demikian tidak terjadi kontradiksi antara perintah wajib untuk membaca Al Fatihah dengan perintah diam tatkala mendengarkan bacaan Al Qur’an ketika shalat ataupun dalam keadaan lain. Inilah metode jama’.
Diantara perkara penting lainnya yang hendaknya di ketahui oleh seorang makmum adalah wajibnya mengikuti gerakan imam secara sempurna, dan haram hukumnya mendahului gerakan imam. Terdapat ancaman keras dari Nabi terhadap seorang makmum yang mendahului gerakan imamnya, beliau bersabda ;
أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ أَوْ لَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ
“Tidakkah salah seorang dari kalian merasa takut, atau apakah salah seorang dari kalian tidak takut apabila ia mengangkat kepalanya sebelum imam (mengangkat kepalanya), Alloh akan menjadikan kepalanya menjadi kepala keledai, atau menjadikan rupanya menjadi rupa keledai,.?!.” (HR : Bukhari, Thabrani, dan Ad Darimi)
Orang yang dengan sengaja mendahului gerakan imam maka ia mendapatkan ancaman sebagaimana hadits di atas. Imam di jadikan untuk di ikuti, maka tidak boleh seorang makmum menyelisihi atau mendahuluinya. Nabi bersabda ;
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا
“Sesungguhnya imam itu di jadikan untuk di ikuti, maka apabila ia bertakbir bertakbirlah, apabila ia ruku’ maka ruku’lah, apabila ia sujud maka sujudlah kalian, dan apabila ia shalat dalam keadaan berdiri shalatlah kalian dalam keadaan berdiri.” (HR : Bukhari, Muslim dan yang lainnya)
[Dalam bahasan kali ini penulis banyak mengambil faidah dari kitab Al Mulakhas Al Fiqh, karya Syaikh Shalih Al Fauzan, jilid 1 halaman 147-150, terbitan Darul Aqidah]
Recent Comments