HUKUM JUAL-BELI DENGAN SISTIM PANJAR (Uang Muka)
Oleh : Abu Ruqoyyah Setyo Susilo
PERTANYAAN
Ijin ustad mohon dijlskan. Hukum dagang dlm islam, sistem uang muka itu apakah diperbolehkan? Krn sy pnh dengar, katanya antara pembeli dan pedagang tdk boleh dr kedua belah pihak yg alat tukarnya tertunda. Misal, si X pesan baju di penjual Y. Baju sdg dlm proses jahit, berarti baju tertunda sampai ke pembeli X. Krn sdh satu pihak yg tertunda, maka bayarnya hrs lunas di depan alias tdk boleh uang muka apalagi di bayar d belakang saat baju sdh jadi. Apa betul bgtu?
JAWAB
Tentang pertanyaan diatas, maka kita jelaskan satu persatu. Dikarenakan antara pertanyaan dan contoh kasus yang di bawakan adalah dua permasalahan yang berbeda, dengan dua akad yang berbeda.
PERTAMA ; Tentang Jual beli dengan sistim panjar atau uang muka di bolehkan dalam Islam. Seperti seseorang mengadakan akad jual beli dengan orang lain, sepakat dengan menggunakan uang panjar, kemudian si pembeli memberikan uang panjar terlebih dahulu, lalu di sepakati kapan akan di bayar sempurna. Apabila pada tanggal di sepakati si pembeli membayar kekurangan harga dengan sempurna maka barang kemudian di serahkan, dan apabila si pembeli tidak jadi atau membatalkan akad jual-belinya di hari yang di tentukan maka si penjual berhak atas uang panjar tersebut. Dan inilah yang di sebut dengan jual-beli “Urbun’.
Dan hal ini berdalil dengan perbuatan Umar bin Al Khatab Radhiyallohu anhu. Syaikh Ibnu Baz berkata ;
لا حرج في أخذ العربون في أصح قولي العلماء إذا اتفق البائع والمشتري على ذلك ولم يتم البيع
“Tidak mengapa mengambil uang panjar menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat ulama, apabila penjual dan pembeli sepakat akan hal itu, dan akad jual-belinya di batalkan.” [Fatawa Li At Tujjaari Wa Rijaalul A’maal halaman 49]
Demikian pula hal ini menjadi Fatwa dari Lajnah Daimah Lil Bukhuts Wal Iftaa, di situ tertulis ;
بيع العربون جائز ، وهو أن يدفع المشتري للبائع أو وكيلاً مبلغاً من المال أقل من ثمن المبيع بعد تمام عقد البيع ، لضمان المبيع ؛ لئلا يأخذه غيره على أنه إن أخذ السلعة احتسب به من الثمن ، وإن لم يأخذها فللبائع أخذه وتملكه وبيع العربون صحيح ، سواء حدد وقتاً لدفع باقي الثمن أو لم يحدد وقتاً ، وللبائع مطالبة المشتري شرعاً بتسليم الثمن بعد تمام البيع وقبض المبيع ، ويدل لجواز العربون فعل عمر بن الخطاب رضي الله عنه ، قال الإمام أحمد في بيع العربون : لا بأس به ، وعن ابن عمر رضي الله عنهما ، أنه أجازه ، وقال سعيد بن المسيب ، وابن سيرين : لا بأس به إذا كره السلعة أن يردها ، ويرد معها شيئاً ، أما الحديث المروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه : ( نهى عن بيع العربون ) فهو حديث ضعيف ، ضعفه الإمام أحمد وغيره ، فلا يحتج به )
“Jual beli “Urbun” (dengan sistim panjar) di perbolehkan, yaitu si pembeli membayar kepada si penjual sejumlah uang kurang dari seperdelapan (harga barang) setelah sempurna akad kesepakatan jual-beli, dalam rangka sebagai jaminan barang yang di beli agar tidak di beli oleh orang lain. Namun apabila si pembeli tadi jadi mengambil barang yang di beli, ia menggenapi kekurangan dari yang seperdelapan tersebut. Jika pembeli tidak jadi mengambil barang yang di beli maka uang panjar tadi menjadi milik si penjual, dan jual beli dengan sistim urbun seperti ini SAH, baik di batasi waktu untuk membayar sisa dari yang seperdelapan tadi atau tidak di batasi waktu. Bagi si penjual secara syar’i ia punya hak untuk meminta kepada si pembeli menyerahkan sisa uang dari seperdelapan yang telah di bayarkan sebagai uang muka setelah sempurnanya jual-beli dan setelah penyerahan barang.
Hal yang menunjukkan kebolehan jual beli Urbun adalah perbuatan Umar bin Al Khatab Radhiyallohu anhu. Imam Ahmad berkata tentang jual-beli dengan sistim panjar (urbun) ;
لا بأس به ، وعن ابن عمر رضي الله عنهما ، أنه أجازه
“Tidak mengapa jual-beli dengan sistim panjar, ada riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallohu anhuma membolehkannya.”
Sedang Sa’id bin Musayyib dan Ibnu Sirin berkata ;
لا بأس به إذا كره السلعة أن يردها ، ويرد معها شيئاً ، أما الحديث المروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه : ( نهى عن بيع العربون ) فهو حديث ضعيف ، ضعفه الإمام أحمد وغيره ، فلا يحتج به )
“Tidak mengapa jual-beli dengan sistim panjar, apabila ia tidak menyukai barang yang di beli maka ia mengembalikannya, dan ia mengembalikan bersamanya sesuatu. Adapun hadits yang di riwayatkan dari Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam bahwasanya beliau ; “Melarang dari jual-beli dengan sistim panjar” maka iatu adalah HADITS YANG DHAIF. Imam Ahmad mendhaifkannya, juga yang lainnya. Oleh karenannya tidak bisa di jadikan sebagai hujjah.” [Fatawa Al Lajnah Ad Daimah 13/133]
KEDUA ; Tentang contoh yang di bawakan, yaitu Misal, si X pesan baju di penjual Y. Baju sdg dlm proses jahit, berarti baju tertunda sampai ke pembeli X. Krn sdh satu pihak yg tertunda, maka bayarnya hrs lunas di depan alias tdk boleh uang muka apalagi di bayar d belakang saat baju sdh jadi. Apa betul bgtu?
Jual beli semacam contoh di atas BUKAN TERMASUK JUAL BELI SISTIM PANJAR, seharusnya jual beli diatas masuk dalam jual beli “Dengan sifat” atau dalam syariat di kenal dengan jual beli “Salam”.
Jual beli salam atau dengan sifat adalah jual beli dengan penentuan sifat di awal, seperti seseorang memesan pakaian dengan bahan apa, ukuran berapa, jumlah berapa, warna apa, maka seperti itulah yang di maksud jual beli dengan salam atau sifat.
Dan jual-beli semacam ini apabila akad sudah di sepakati maka SI PEMBELI HARUS SEGERA MENYERANGKAN UANG KEPADA SI PENJUAL SAAT AKAD TERJADI.
Maka, contoh kasus yang di bawakan diatas adalah masuk pada jual-beli salam atau sifat. Jika sebagaimana yang di tanyakan, baru di beri uang panjar terlebih dahulu maka jual-beli ini TIDAK MEMENUHI SYARAT, alias TIDAK SAH.
Wallohu a’lam
Afwan ustadz, apakah jual beli yang ditanyakan tidak masuk kategori istishna’? Karena ada proses produksi di situ, sehingga pembeli boleh membayar DP. Adapun akad salam di masa sekarang mungkin lebih pas untuk profesi trader yang tugasnya hanya mendatangkan barang?