APAKAH MENYENTUH KEMALUAN BISA MEMBATALKAN WUDHU,.?

Setidaknya ada empat (4) pendapat dalam masalah ini.

PENDAPAT PERTAMA yaitu madzhabnya imam Ahmad bin Hanbal, bahwa menyentuh farji membatalkan wudhu. Dalil yang mereka kemukakan diantaranya adalah ;

  1. Hadits Busrah binti Shafwan bahwa Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam bersabda ;

 

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa menyentuh dzakarnya maka hendaknya ia berwudhu” (HR Abu Dawud di shahihkan Syaikh AL Albani dalam Shahih Abu Dawud)

 

  1. Hadits Abu Hurairah ;

 

إِذَا أَفْضَى أَحَدكُمْ بِيَدِهِ إِلَى ذَكَره لَيْسَ بَيْنه وَبَيْنه شَيْء فَلْيَتَوَضَّأْ

 

“Apabila salah seorang diantara kalian menyentuh dzakarnya dengan tangannya, dan tidak ada penghalang yang menghalangi tangannya dengan dzakarnya sama sekali maka wajib baginya berwudhu” (Diriwayatkan Asy Syafi’i dari Salaman bin Amr dan Muhammad bin Abdillah dari Yazid bin Abdillah AL Hasyimi dari Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Hurairah [Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abi Dawud])

 

PENDAPAT YANG KEDUA menyentuh dzakar tidak membatalkan wudhu. Ini adalah madzhabnya Abu Hanifah. Mereka berdalil diantaranya dengan dalil-dalil berikut ;

  1. Hadits Talaq bin Ali bahwa beliau pernah bertanya kepada Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat, apakah ia wajib berwudhu,.? Maka Nabi menjawab ;

 

لا ، إنما هو بضعة منك

“Tidak, sesungguhnya ia merupakan bagian darimu” (HR Abu Dawud No 182, Tirmidzi No 85, Nasai 1/100, dan Ibnu Majah no 483. Dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

 

  1. Bahwa hukum asal segala sesuatu adalah tetap suci, maka kita tidak mengeluarkan dari hukum asal kecuali dengan dalil yang jelas meyakinkan. Sedangkan hadits Busrah dan hadits Abu Hurairah diatas keduanya dhaif (menurut ulama yang mendukung pendapat ini).

 

PENDAPAT KETIGA, jika seseorang menyentuhnya dengan syahwat maka batal, dan jika tidak maka tidak batal. Nah, pendapat ini adalah pendapat yang menggabungkan antara pendapat pertama dan pendapat kedua. Dan jika memang bisa di kompromikan antara kedua dalil diatas (hadits Busrah dan hadits Talaq bin Ali) maka jalan diambil seharusnya adalah mengamalkan kedua dalil diatas. Dan jika dikompromikan maka hasilnya adalah pendapat ketiga ini.

 

Yang menguatkan pendapat ini adalah kata-kata Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam (sesungguhnya ia merupakan bagian darimu) dikarenakan jika engkau menyentuh dzakarmu tanpa syahwat maka hal itu seperti engkau menyentuh anggota badanmu yang lain, dan ketika itu tidak membatalkan wudhu. Namun jika engkau menyentuhnya dengan syahwat maka membatalkan wudhu, alasannya karena ilatnya ada, yaitu kemungkinan keluarnya sesuatu yang membatalkan tanpa terasa.

 

Sebagian ulama yang lain ketika mengkompromikan antara hadits Abu Hurairah dan hadits Talaq bin Ali mereka menjadikan hadits Abu Hurairah diatas dengan perintah yang sifatnya anjuran sedangkan untuk hadits Talaq bin Ali adalah penafian yang siwatnya WAJIB, dalilnya adalah pertanyaan yang diajukan ; Apakah ia wajib berwudhu,.? “ala” dhahirnya maknanya adalah wajib.

 

Pendapat ketiga ini adalah pendapat yang kuat, di kuatkan oleh Syaikh Utsaimin dan beliau menjelaskan bahwa yang rajih adalah pendapat ini sebagaimana dalam syarah Bulughul Maram. (Sebagaimana termaktub dalam fatwa Syaikh Shalih Munajjid dalam fatwa beliau no. 99468 dalam website beliau)

 

PENDAPAT KEEMPAT berwudhu itu di anjurkan bagi orang yang menyentuh dzakarnya dalam kondisi apapun, baik menyentuhnya dengan syahwat maupun tanpa syahwat.

 

Ini adalah pendapat yang di pilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, alasannya ; jikalau kita katakan “dianjurkan” maka maknanya adalah disyariatkan, dan melakukannya berarti mendapatkan ganjaran, juga bermakna kehati-hatian. Adapun anggapan bahwa hadits Talaq bin Ali mansukh (dihapus) beralasan dengan ketika beliau datang menemui Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam beliau sedang membangun Masjid Nawawi di awal-awal hijrah maka itu tidak bisa diterima dengan berbagai alasan, diantarannya ;

 

  1. Bahwa hadits tersebut tidak bisa di naskh (hapus) kecuali jika tidak memungkinkan untuk di kompromikan. Sementara disini memungkinkan untuk di kompromikan
  2. Pada hadits Talaq ada ilat yang tidak mungkin hilang, jika hukum di kaitkan dengan ilat yang tidak mungkin hilang maka hukum tersebut juga tidak mungkin hilang, karena hukum itu ada jika ilatnya ada. Dan ilatnya di sini adalah perkataan Nabi (sesungguhnya ia merupakan bagian darimu) maka tidak akan mungkin suatu hari nanti dzakar seseorang tidak menjadi bagian dari tubuhnya. Berdasar hal ini maka tidak mungkin di naskh (Faidah dari fatwa Syaikh Shalih Munajjid di fatwa beliau no 82759, di website beliau ; https://islamqa.info/ar/82759)

 

Dalam hal ini penulis cenderung mengikuti pendapat yang ketiga, yaitu apabila seseorang menyentuh farjinya dengan syahwat maka membatalkan wudhu dan jika tidak dengan syahwat maka tidak membatalkan wudhu, karena kedudukannya seperti anggota tubuh yang lain. Alasan yang lain hadits Busrah dan hadits Talaq bin Ali sama-sama shahih. Pendapat ini pula yang di kuatkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah. Wallohu alam

 

[Abu Ruqoyyah Setyo Susilo]

 

 

 

 

 

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published.