Segala puji bagi Alloh Subhanahu wa Ta’ala Rabb semesta alam, yang telah menetapkan segala sesuatu dengan qodar-Nya, yang telah menentukan kehidupan dan kematian untuk anak cucu adam. Alloh Ta’ala berfirman :
“Semua yang ada dimuka bumi akan binasa. Dan tetap kekallah dzat Robmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”(Ar Rohman : 26-27)
Maka tidak ada tempat bagi manusia untuk bersembunyi dari kematian. Setelah manusia meninggal dunia maka dia akan tetap berada dalam kuburnya sampai hari berbangkit, kemudian dipindahkan ketempat tinggal yang hakiki, surga atau neraka. Berkaitan dengan orang yang meninggal dunia maka ada beberapa hukum syar’i yang hendaknya kita mengetahuinya dikarenakan beberapa poin dari hal-hal tersebut merupakan hak dari simayit, seperti dimandikan, dikafani, diantarkan dan dikuburkan. Adapun sebelum itu, ketika ada seseorang yang akan mennggal dunia (sakarotul maut) maka disunnahkan bagi orang yang berada didekatnya atau menyaksikannya untuk mentalqinnya sebagaimana sabda Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam :
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
” Talqinlah orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kamu sekalian dengan “Laa ilaaha Illallohu”. (diriwayatkan imam Muslim dalam Shohihnya)
Berikut kami ini paparkan beberapa hal yang telah diajarkan Nabi kita yang mulia Muhammad Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam berkaitan dengan hukum seputar jenazah :
MEMANDIKAN MAYAT
Hukum memandikan mayat adalah fardhu kifayah bagi kaum muslimin yang mengetahuinya, artinya apabila telah ada salah seorang diantara mereka telah menunaikanya dan telah mencukupi maka tidak ada dosa bagi yang lainnya. Akan tetapi apabila ditinggalkan maka akan berakibat dosa bagi orang yang mengetahui keadaan simayit dan yang mampu melaksanakannya akan tetapi dia meninggalkannya.
Didalam sebuah hadits yang bersumber dari Ummu ‘Athiyah, ketika putri beliau Zainab –semoga Alloh meridhoi beliau- meninggal dunia, beliau masuk ketempat pemandian mayat putri beliau untuk mengajarkan cara memandikan dengan benar, dan disitu ada Ummu ‘Athiyah, lantas beliau bersabda :
و في رواية : أو سبعا و قال : إبدأن بميامنها و مواضع الوضوع منها, و أن أم عطية قالت : وجعلنا رأسها ثلاثة قرون
“Mandikanlah dia tiga kali, atau lima kali, atau lebih banyak dari itu apabila kalian memandang perlu hal itu, dengan menggunakan air atau daun bidara, dan campurilah yang terakhir dengan kapur barus atau sedikit darinya, jika kalian telah selesai maka beritahulah aku.” (Ummu ‘Athiyah berkata) “Maka tatkala kami telah selesai kami memberitahu beliau. Baliau lantas memberi kami kain lalu bersabda : “Kenakanlah kain ini kepadanya.”
“Didalam riwayat yang lain dikatakan :” Atau tujuh kali” baliau bersabda : “Mulailah dengan yang sebelah kanan dan dari anggota-anggola wudhu.”
Ummu ‘Athiyah mengatakan : “Kami menjalin rambut Zainab menjadi kepang tiga.” (diriwayatkan imam Bukhori didalam Shohihnya)
Dari hadits ini bisa kita ambil beberapa faidah :
Disunahkannya mensudahi dengan bilangan ganjil ketika memandikan mayit. Imam Nawawi mengatakan : “Riwayat-riwayat ini (tentang jumlah bilangan ketika memandikan mayit –pent.) maknanya sama meskipun berbeda lafadznya, dan yang dimaksud disini adalah “mandikanlah dengan ganjil (ganjilkanlah –pent.)” maka bisa tiga kali, apabila mereka membutuhkan tambahan agar lebih bersih maka dengan lima kali, dan apabila mereka membutuhkan tambahan agar lebih bersih lagi maka dengan tujuh kali, demikian seterusnya.” (Syarh Nawawi ‘Ala Muslim 3/352/Syamilah)
Dimandikan dengan air yang bersih dan dicampur dengan daun bidara (jika ada). Apabila tidak ditemukan daun bidara maka bisa juga dengan menggunakan sabun atau sejenisnya, yang bisa menggantikan fungsi dari daun bidara yaitu membersihkan, bahkan Ibnu Rojab mengatakan : “Apabila tidak ditemukan maka cukup dengan air saja.” (lihat Al Muntaqo –Syarhul Muwatto’ 2/18/Syamilah). Dan yang utama adalah dengan menggunakan air yang dingin, kecuali ada hajat untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada tubuh si mayit maka boleh dengan menggunakan air yang hangat.
Seorang wanita tidaklah dimandikan kecuali oleh wanita, begitu pula sebaliknya (seorang laki-laki tidaklah dimandikan kecuali oleh laki-laki), kecuali seorang wanita dengan suaminya atau seorang budak dengan tuannya. (lihat Taisirul ‘Allam hal 192/Darul Kutub Al Ilmiyah)
Pada poin yang ketiga ini, masih banyak pelanggaran pada masyarakat kita dikarenakan ketidak tahuan mereka. Seorang mayit perempuan dimandikan oleh laki-laki yang bukan dari makhromnya, demikian juga seorang laki-laki dimandikan oleh perempuan yang bukan dari makhromnya. Hal ini tidak diperbolehkan dikarenakan pada saat memandikan akan tersingkaplah aurat si mayit, demikian juga seandainya si mayit memiliki aib atau cacat pada tubuhnya akan tersingkap pula, maka disyariatkan bagi orang yang memandikan adalah orang mukmin tsiqoh, dapat dipercaya, serta tahu akan hukum-hukum memandikan mayat. Apabila mayatnya laki-laki maka yang memandikan adalah kaum laki-laki tidak boleh perempuan kecuali istrinya, dan apabila mayatnya perempuan maka yang memandikan adalah perempuan tidak boleh laki-laki kecuali suaminya. Akan tetapi apabila si mayat adalah anak kecil yang dibawah tujuh tahun maka boleh dua-duanya.
Disukainya mencampurkan pada air yang terakhir dengan sejenis wewangian (kapur barus atau yang lainnya). Imam Nawawi mengatakan : “Disukainya mencampurkan sejenis wewangian pada yang terakhir (bilasan terakhir –pent.) dan hal itu disepakati atasnya menurut kami, demikian juga imam Malik, imam Ahmad dan jumhur ulama mengatakan hal yang sama.” (Syarh Nawawi ‘Ala Muslim 3/353/Syamilah)
Menurut beliau hal itu akan lebih mewangikan jasad si mayit, mengawetkan jasadnya, dan lebih mencegah kerusakan lebih cepat pada tubuh si mayat.
Disukainya mengepang rambut bagi mayit wanita. Hal ini sebagaimana pendapat imam Syafi’I, imam Ahmad dan Ishak.
Mengenai tempat yang digunakan untuk memandikan si mayit Syaikh Fauzan bin Abdullah al-Fauzan mengatakan : “Hendaknya tempat yang digunakan untuk memandikan mayat tertutup dari pandangan mata, beratap seperti rumah, tenda dan semisalnya jika memungkinkan.”
Masih menurut beliau : “Wajib menutup apa yang ada diantara perut mayat dan lututnya kemudian diletakkan diatas tempat yang akan digunakan untuk memandikan mayat dalam keadaan kaki terbujur, lalu dibukalah tutup badanya (bajunya) agar air mudah dituangkan padanya dan kotoranya juga mudah dikeluarkan. Hendaklah orang yang akan memandikan mayat mengangkat kapala si mayat terlebih dahulu mendekati tempat duduknya, kemudian meletakkan tanganya diatas perut si mayat, lalu menekannya pelan-pelan agar keluar apa yang ada didalam perutnya, diiringi dengan disirami air yang banyak agar kotorannya hilang tersingkir. Kemudian orang yang memandikan mayat tadi membungkus tangannya dengan kain tebal, lalu mengistinjakkan si mayat dan membersihkan duburnya dengan air, kemudian berniat memandikan mayat, membaca basmalah, dan mewudhukan si mayat sebagaimana wudhu untuk melaksanakan sholat, kecuali berkumur dan istinsyak (memasukkan air ke dalam hidung), maka cukuplah bagi orang yang memandikan mayat mengusap gigi dan kedua lubang hidungnya dengan kedua tangan atau kain yang sudah dibasahi dengan air, dan jangan sampai airnya masuk kedalam mulut dan hidung si mayat. Kemudian membasuh kepala dan jenggot si mayat dengan buah pohon bidara atau sabun, kemudian membasuh bagian kanan badannya (bagian kanan leher), kemudian tangan kanannya, punggungya, kemudian bagian kanan dadanya,lambung atau rusuknya yang kanan, paha, betis, dan kakinya yang kanan, kemudian dibalik ke arah kirinya, lalu dibalik ke arah kanan, kemudian dicucilah bagian punggungnya yang kiri dengan air yang dicampur dengan daun pohon bidara atau sabun. Dan disunahkan memakai sarung tangan ketika memandikan mayat.” (Mukhtashor Ahkamil Janaiz edisi Terj. Hal 12-14/Pustaka Arofah)
Insya Alloh bersambung pada postingan berikutnya,…….
Informasi yg sangat bermanfaat, bagaimana kl di daerah kt tdk ad lelaki apakah boleh wanita jd imam sholt jenazah?
boleh, tapi mengimami sesama wanita