ETIKA MENASEHATI PENGUASA,.! (Teruntuk saudaraku di seberang jalan sana)

Tidaklah Nabi Shalallohu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan kita kecuali agama ini telah sempurna, tanpa kekurangan sedikitpun. Beliau telah mengajarkan semua perkara kepada kita, termasuk di antaranya adalah etika kita ketika hendak menasehati penguasa.


Diantara aqidah ‘khowarij’ dan tentunya ‘orang yang sepemahaman dengan mereka,’ adalah tidak mau ‘beriltizam’ dengan kalangan Ahlus Sunnah, tidak mentaati ulil amri (pemimpin), dan suka mengumbar aib mereka di depan umum. Mereka juga menganggap orang-orang yang menyerukan ketaatan kepada ulil amri (dalam hal selain kemaksiatan) adalah agen-agen pemerintah. [Kutub Manahij wal Firoq, 2/24 Maktabah Syamilah]
Bahkan mereka melemparkan tuduhan keji kepada para ulama yang menyerukan ketaatan kepada ulil amri adalah termasuk ‘ulama perut’, ‘ulama pemerintah’,..na’udzubillah. semoga uraian di bawah ini dapat sedikit mencerahkan kita dari pemikiran-pemikiran seperti itu.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةَ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِى شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِىُّ وَغَيْرُهُ قَالَ َلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِىَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ َلَمْ تَسْمَعِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَاباً أَشَدَّهُمْ عَذَاباً فِى الدُّنْيَا لِلنَّاسِ ». فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ لَهُ ». وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لأَنْتَ الْجَرِىءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلاَّ خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepadaku bapakku, telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah : Telah menceritakan kepada kami Shafwan, telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadramiy dan yang lainnya, ia berkata : ‘Iyaad bin Ghanmin pernah mencambuk orang Daaraa ketika ditaklukkan. Hisyaam bin Hakiim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga ‘Iyaadl marah. Kemudian ‘Iyaad tinggal beberapa malam, lalu Hisyaam bin Hakiim mendatanginya untuk meminta udzur (alasan kenapa ia meninggikan suaranya) . Hisyaam berkata kepada ‘Iyaad : “Tidakkah engkau mendengar Rusululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : ’Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia?’. ‘Iyaad bin Ghanmin berkata : “Wahai Hisyaam bin Hakiim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat. Namun tidakkah engkau mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dalam suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, akan tetapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima, memang itulah yang diharapkan namun jika tidak, maka orang tersebut telah melaksakan kewajibannya. Engkau wahai Hisyaam, kamu sungguh orang yang lancang karena engkau berani melawan penguasa Allah. Tidakkah engkau takut jika penguasa itu membunuhmu lalu jadilah engkau orang yang dibunuh penguasa Allah Tabaaroka wa Ta’ala?”

Hadits di atas di riwayatkan oleh Imam Ahmad (3/404). Hadits ini ‘dhaif’ karena antara Syuraih bin ‘Ubaid al Hadramiy dengan ‘Iyaad bin Ghanmin terputus. Ibnu Hajar berkata mengenai Syuraih : “Kebanyakan mursal”.
Namun terdapat riwayat lain dengan lafadz agak sedikit berbeda dengan hadits diatas, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim (2/522). Mengenai riwayat ini Syaikh Al Albani mengatakan : “Sanadnya shahih dan ‘rijal’nya tsiqoh”. Adapun riwayat tersebut :
ألم تسمع يا هشام رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من كانت عنده نصيحة لذي سلطان فلا يكلمه بها علانية وليأخذ بيده وليخل به فإن قبلها قبلها وإلا كان قد أدى الذي عليه والذي له

“Tidakkah engkau mendengar wahai Hisyam, Rosulullah Shalallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan : “Barang siapa yang memiliki nasehat untuk penguasa maka hendaknya ia tidak mengatakan kepadanya secara terang-terangan, namun hendaknya ia menggandeng tanganya dan menepi berdua. Jika ia mau menerima, maka ia menerimanya, jika tidak, maka orang tersebut telah melaksakan kewajibannya.”

Riwayat di atas Al Hakim juga mengeluarkanya di dalam Al Mustadrak ‘Ala Shahihain, dan beliau mengatakan : “Ini merupakan hadits yang sanadnya shahih, namun Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengeluarkanya”. Demikian juga Al Baihaqi di dalam As Sunan Al Kubro, dan At Tabrani di dalamAl Mu’jam Al Kabir.

Faidah Hadits

Hadits di atas jelas mengajarkan kepada kita bagaimana cara kita menasehati penguasa. Diantaranya adalah dengan tidak menasehati mereka secara ‘terang-terangan’ di hadapan banyak orang. Cukup di sayangkan rupanya masyarakat kita jarang yang memahami etika ini. Maka tak jarang kita dapatkan kegiatan-kegiatan yang berupa demonstrasi, orasi dan semacamnya (baik secara lisan maupun tulisan yang di sebarkan) yang di dalamnya penuh dengan kecaman dan cacian kepada penguasa. Ironisnya lagi mereka menganggap hal itu sebagai bentuk ‘amar ma’ruf nahi munkar’ kepada penguasa. Padahal hal itu sama saja dengan mengumbar aib penguasa di depan orang banyak, dan tentunya bukan maslahat yang di dapatkan akan tetapi madharat. Hal ini di karenakan aib penguasa yang tersebar di kalangan masyarakat akan semakin menambah kebencian mereka kepada penguasa, sehingga akan memicu aksi-aksi anarkisme dan perusakan-perusakan karena ketidak puasan rakyat atas penguasanya.
Yang hendaknya kita fahami bahwa penguasa adalah orang yang mengurusi kemaslahatan dan kepentingan orang banyak, tentunya ada etika tersendiri yang harus kita perhatikan ketika kita hendak memberikan nasehat kepada mereka. Bahkan siapapun orangnya apabila ia memiliki kekurangan, maka ia akan lebih suka apabila ia di nasehati secara lembut dan secara ‘tersembunyi’ atau tidak di tampakkan kepada khalayak. Itulah yang di ajarkan oleh Nabi kita pada hadits yang pernah di dengarkan oleh ‘Iyaad di atas.
Lihatlah bagaimana Alloh memerintahkan Nabi Musa ‘Alaihis Salam dan Harun ketika hendak mendakwahkan kebenaran kepada Fir’aun yang kita ketahui bersama bahwa ia adalah seorang penguasa yang dzalim. Alloh berfirman :
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS : Thaha : 44)
Alloh memerintahkan supaya Nabi Musa dan Harun menggunakan kata-kata yang lembut, dan bukan dengan kata-kata yang kasar, apalagi makian dan cacian.
Perhatikan pula bagaimana sikap Usamah bin Zaid ketika ia di minta untuk memberikan nasehat kepada Utsman bin Affan (khalifah saat itu), ia mengatakan :
“Tidakkah kalian melihat bahwasanya aku tidak akan memberikan nasehat kepadanya kecuali aku memperdengarkan kepada kalian,.?! Yaitu : Apakah kalian menginginkan aku memberikan nasehat sedangkan kalian mendengarkan,.?! Kalian menginginkan aku mengatakan kepadanya sedangkan kalian semua melihatnya,.?! Demi Alloh, sungguh aku menasehatinya hanya antara aku dan dia, tanpa aku harus membuka satu perkara yang aku tidak suka jika aku menjadi orang yang pertama kali membukanya.” (HR : Muslim)
Begitulah teladan kita para salaf. Syaikh Ibnu Baz juga mengatakan :“Bukanlah termasuk manhaj salaf suka mengumbar aib penguasa, dan menyebutkanya di atas mimbar-mimbar, di karenakan yang demikian itu akan menimbulkan kekacauan dan menjadikan masyarakat tidak mau lagi taat kepada penguasa dalam hal kebaikan. Hal itu juga akan menimbulkan ketakutan, yang penuh dengan madharat dan tidak akan ada manfaatnya sama sekali. Cara baik yang di ikuti oleh para salaf adalah menasehati penguasa hanya diantara mereka dan penguasa tersebut, atau dengan menulis surat kepada mereka, atau menemui ulama yang biasa bertemu dengan penguasa hingga ulama tersebut bisa mengarahkan mereka kepada kebaikan..” [Durus Syaikh Sa’ad Al Barik 2/16 Maktabah Syamilah]

Kiranya uraian di atas sudah cukup bagi kita sebagai peringatan agar tidak bermudah-mudahmengumbar aib penguasa yang sering di istilahkan oleh “sebagian kelompok” dengan istilah ‘amar ma’ruf nahi munkar’ kepada mereka. Tidak terkecuali kepada penguasa yang dhalim. Ada cara yang lebih baik tanpa harus mengumbar aib mereka di hadapan masyarakat banyak sebagaimana yang di ajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shalallohu ‘alaihi wa Sallam, dan yang di lakukan oleh para salaf shalih (pendahulu kita), dan tentunya yang lebih sesuai syariat.
[Abu Ruqoyyah]

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published.