Perkembangan zaman dan teknologi yang terus terjadi sering menimbulkan fenomena-fenomena baru dalam tatanan sosial, termasuk pula dalam masalah syariat. Munculnya alat-alat kedokteran baru, obat-obatan, serta kendaraan yang dahulu pada masa Nabi Shalallohu Alaihi wa Sallam belum ada tentunya banyak menimbulkan pertanyaan bagi kita tentang bagaimanakah hukum atau penerapanya. Oleh karena itulah para ulama menjadikan bab ini sebagai salah satu cabang ilmu yang hendaknya kita juga mengetahui dan mempelajarinya. Pembahasan inilah yang di kenal dengan “Fiqih Kontemporer” atau pembahasan fiqih masa kini.
Diantara permasalahan kontemporer tersebut adalah tentang bagaimanakah tata-cara shalat di ruang angkasa, kemanakah arah kiblatnya,..? Sebagaimana kita ketahui pada zaman ini ilmu astronomi merupakan ilmu yang banyak di minati, sehingga banyak para peneliti yang mencoba melakukan penerbangan ke luar angkasa untuk ekspedisi. Oleh karenanya sebagian ulama membahas permasalahan ini.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka akan kita bahas terlebih dahulu mengenai shalat. Shalat secara bahasa adalah “ad du’a” atau doa. Maka seseorang di katakan shalat apabila ia berdoa. Di namakan shalat juga itu kerena di dalamnya banyak di lafadzkan doa-doa. (Al Jami’ Li Ahkami as Shalat / 2 / 54 Maktabah Syamilah)
Dan secara istilah shalat adalah perkataan dan perbuatan yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam di sertai syarat-syarat khusus. Mengenai syaratnya ada dua, syarat wajib, dan syarat sahnya shalat. Syarat wajib meliputi harus Islam, baligh (bisa membedakan baik dan buruk), berakal, dan intifaul mawani’, yaitu tidak adanya hal-hal yang menghalangi shalat, seperti haid dal lainya. Kemudian syarat sahnya shalat diantaranya suci dari hadats besar maupun kecil dan suci tempat, menutup aurat, masuk waktu, serta menghadap kiblat. (Lihat As Syarhu Al Mukhtashar ‘Ala Bulughil Maram / 3 / 29 Maktabah Syamilah)
Kemudian diantara yang perlu kita ketahui adalah yang pertama bahwa shalat merupakan salah suatu kewajiban yang wajib di tunaikan oleh seorang hamba dalam Islam. Alloh telah mewajibkan kepada kita shalat sebanyak lima waktu dalam sehari semalam yaitu subuh, dhuhur, ashar, dan maghrib. Dan sebagaimana perlu kita ketahui pula bahwa pada tiap-tiapnya ada waktu yang terbatas, kita wajib menunaikannya dalam waktu tersebut dan kita wajib menggantinya apabila sudah keluar dari waktunya. Alloh berfirman :
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS : An Nisaa : 103)
Kemudian yang ke dua, diantara yang menjadi syarat sahnya shalat adalah menghadap ke arah kiblat dari awal shalat hingga akhirnya. Alloh berfirman :
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖفَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
“Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS : Al Baqarah : 144)
Ayat ini menegaskan bahwa dalam setiap ibadah shalat kita wajib menghadap ke arah kiblat atau Masjidil Haram. Akan tetapi syarat ini gugur dalam beberapa keadaan, diantaranya :
– Ketika shalat sunnah di atas kendaraan tunggangan, seperti di atas punggung onta atau yang lainya.
– Ketika shalat wajib bagi orang yang sakit dan tidak mampu untuk menghadap ke arah kiblat.
– Ketika shalat wajib dalam keadaan takut dari musuh.
– Ketika shalat wajib dalam keadaan perang dengan musuh.
Pada keadaan-keadaan di atas maka menghadap kiblat tidaklah menjadi syarat sahnya shalat.
Lantas bagaimanakah jika shalat di pesawat luar angkasa,.? Sebagaimana kita ketahui bahwa ketika seseorang berada di luar angkasa maka tidaklah mungkin ia dapat menghadap ke arah kiblat, dan juga ia tidak mungkin dapat mengetahui waktu masuk maupun berakhirnya shalat.
Jawabanya adalah, bahwasanya shalat itu tidaklah gugur dengan keadaan apapun, dalam keadaan apapun kita wajib dan bisa melakukan shalat. Maka orang yang sedang dalam pesawat ruang angkasa melakukan shalat dengan menghadap kearah manapun pesawat itu menghadap. Hal ini sebagaimana pula Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam shalat di atas kendaraan beliau. Dalam sebuah hadits di sebutkan :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ
“Dari Abdullah bin Amir, dari bapaknya ia mengatakan ; Aku melihat Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam shalat di atas kendaraan beliau kemanapun arah kendaraan tersebut menghadap.” (HR : Bukhari)
Mengenai masuknya waktu shalat apabila hal itu sulit untuk di ketahui maka berdasarkan “ghalabatu ad dzan” atau persangkaan yang kuat. Karena syariat tidaklah membebani seseorang di luar kemampuannya.
Maka apabila seseorang yang sedang berada di pesawat ruang angkasa mampu untuk mengetahui arah kiblat yang benar dan masuknya waktu shalat maka hal itu baik, dan hendaknya ia menghadap ke arah tersebut dan shalat pada waktunya. Akan tetapi apabila ia tidak mampu untuk mengetahui arah kiblat dan waktu masuknya shalat dengan tepat maka ia shalat dengan menghadap ke arah pesawat itu menghadap dan dengan persangkaan kuat telah masuk waktu shalat.
Yang demikian itu karena agama Islam adalah agama yang mudah dan tidak membebani pemeluknya di luar batas kemampuannya. Alloh berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS : 286)
Alloh juga berfirman :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“,.dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS : Al Hajj : 78)
Dan Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam juga bersabda :
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“,.dan apa-apa yang aku memerintahkan kalian dengannya maka kerjakanlah semampu kalian,.” (HR : Ibnu Hibban)
Yang jelas dalam keadaan apapun kewajiban shalat itu tidaklah gugur, maka seorang mukmin wajib menjalankanya sesuai kadar yang di mampuinya. Wallohu A’lam
[Penulis banyak mengambil faedah dari muqarrar “Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah I” MEDIU]
Recent Comments