APAKAH TAMU TIDAK BOLEH BERPUASA KECUALI IZIN TUAN RUMAH,.??!

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ وَخَالِدُ بْنُ أَبِي يَزِيدَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الْمَدَنِيُّ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَزَلَ الرَّجُلُ بِقَوْمٍ فَلَا يَصُومُ إِلَّا بِإِذْنِهِمْ
Telah mengatakan kepada kami Muhammad Ibnu Yahya Al Azdiy, telah mengatakan kepada kami Musa bin Dawud dan Khalid bin Abi Yazid, keduanya mengatakan telah mengaakan kepada kami Abu Bakr Al Madani dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah dari Nabi Shalallohu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda ; “Apabila seseorang bertamu pada suatu kaum hendaknya ia tidak berpuasa kecuali setelah mendapatkan izin dari mereka.”
Pada kesempatan kali ini akan kita bahas sebuah hadits yang di dalamnya terdapat isyarat tidak bolehnya seorang yang bertamu untuk berpuasa kecuali ia mendapatkan izin dari tuan rumah. Shahihkah hadits tersebut,.?? Kita akan paparkan sebagaimana berikut ;

Takhrij Hadits
Hadits di atas di keluarkan oleh Ibnu Majah no. 1753, Imam Tirmidzi no. 132 dalam Al ‘Ilal Al Kabir Li at Tirmidzi, dan no. 718 dalam Jami’u at Tirmidzi, Ibnu Hibban no. 249 & 813 dalam Al Majruhin Li Ibni Hibban, Abu Ahmad bin ‘Uday Ad Djirjani no. 759 & 4522 dalam Al Kamil Fi Dhuafai Ar Rijal, Abu Na’im Al Ashbahani no. 594 & 886, Ibnul Jauzi no. 860 dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah Li Ibnil Jauzi, dll.
Perawi-Perawi Hadits
  1. Ummul Mukminin Aisyah –semoga Alloh meridhai beliau– , nama panjang beliau adalah Aisyah bintu Abdillah bin Utsman bin Amir bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad. Beliau adalah isteri Nabi Shalallohu ‘alaihi wa Sallam, ibu dari kaum Mukminin, wanita yang paling mulia. Nabi pernah bersabda mengenai beliau ;
فَضْلُ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ، كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
“Keutamaan Aisyah dibandingkan dengan wanita lain adalah seperti kelebihan bubur daging (makanan paling istimewa pada zaman Nabi) di bandingkan makanan lainnya.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Ibnu Hajar mengatakan ; “Ummul Mukminin, wanita yang paling faqih diantara wanita lain, isteri Nabi yang paling utama kecuali khadijah.”
Adz Dzhahabi dalam Tahdzibu Tahdzib mengatakan ; “Ummul Mukminin, wanita yang Faqih, kekasih Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa Sallam..”
  1. Urwah bin Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzai bin Qushai bin Kilab, beliaulah yang dalam runtutan sanad hadits di atas di sebutkan dengan lafadz ‘an abihi’. Beliau termasuk dalam thabaqah ke 3, meninggal tahun 94 Hijriyah.
Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan tentang beliau ; “Beliau adalah orang yang terpercaya, faqih, dan terkenal”
Ahmad bin Shalih Al Jaili mengatakan ; “Orang yang terpercaya, dan beliau adalah seorang laki-laki yang shalih tidak pernah masuk ke dalam fitnah.”
Secara umum beliau adalah seorang yang tsiqah, faqih dan masyhur.
  1. Hisyam bin Urwah, beliau merupakan putera dari Urwah bin Zubair. Lahir tahun 58 Hijriyah dan meninggal di Baghdad pada umur 87 tahun, tahun 145 Hijriyah.
Abu Hatim Ar Razi berkata tentang beliau ; “Beliau terpercaya, termasuk Imam hadits”
Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam ats tsiqat, dan berkata tentangnya ; “Beliau termasuk hafidz, sempurna hafalannya, memiliki sifat wara’ dan keutamaan”
Ahmad bin Shalih al Jaili mengatakan bahwa beliau terpercaya
Ibnu Hajar mengatakan bahwa beliau termasuk tsiqah dan faqih, boleh jadi sedikit memalsukan hadits, di masa tuanya hafalan beliau berubah.
Adz Dzahabi mengatakan ; “Termasuk salah seorang ulama, seorang Imam dan hujjah, namun di masa tuanya berkurang hafalannya,.”
Secara umum beliau terpercaya dan termasuk Imamul hadits
  1. Abu Bakr Al Madani, termasuk thabaqah ke 7. Imam Tirmidzi berkata tentang beliau ; “Dia lemah menurut ahli hadits”.  Ibnu Hajar al Asqalani mengatakan ; “Lemah”, demikian pula Adz Dzahabi ; “Lemah”.
Dan secara umum haditsnya lemah, tidak dapat di jadikan hujjah.

  1. Khalid Ibnu Abi Yazid, terkenal dengan nama Khalid bin Abi Yazid Al Farisi, termasuk thabaqah ke 10. Mengenai beliau Yahya bin Main mengatakan ; “Tidak masalah”, sementara Ibnu Hibban meriwayatkan dari beliau satu buah hadits, yang beliau nukil dari Abu Bakr Al Madani, yaitu hadits ini.
Secara umum beliau adalah perawi yang jujur, dan haditsnya hasan

  1. Musa bin Dawud, kunyah beliau adalah Abu Abdillah, termasuk thabaqah ke 9, meninggal tahun 216 Hijriyah.
Abu Hatim Ar Razi berkata tentang beliau ; “Dia merupakan seorang syaikh, di dalam haditsnya terdapat kerancuan.”

Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam ats tsiqat.

Al Hakim An Naisaburi mengatakan beliau termasuk diantara perawi tsiqah

Ibnu Hajar mengatakan tentang beliau ; “Seorang yang jujur, faqih, zuhud, namun memiliki keragu-raguan”

Ad Daruqtni mengatakan ; “Beliau merupakan seorang penulis yang memiliki karya yang banyak, dan dapat di percaya.”

Adz Dzahabi mengatakan tentang beliau ; “Terpercaya, zuhud, dan seorang penulis”

Secara umum beliau di golongkan seorang yang tsiqah (terpercaya).

Khalid Ibnu Abi Yazid dan Musa bin Dawud keduanya sama-sama mendengar dari Abu Bakr Al Madani

  1. Muhammad Ibnu Yahya Al Azdiy, beliaulah yang masyhur dengan nama Ibnu Abi Hatim, kunyah beliau adalah Abu Abdillah, termasuk thabaqah ke 11, meninggal antara tahun 251-260 Hijriyah.
Ad Daruqtni berkata tentang beliau ; “Terpercaya”

Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan ; “Terpercaya”

Maslamah Ibnu Al Qasim Al Andalusi mengatakan ; “Terpercaya”

Abu Hatim Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam ats tsiqat. [[1]]

Ke tujuh perawi di atas kesemuanya merupakan perawi yang tsiqah, kecuali Khalid Ibnu Abi Yazid dan Abu Bakr Al Madani. Adapun Khalid Ibnu Abi Yazid meskipun tidak begitu mayshur di kalangan ulama ahli hadits namun secara umum beliau termasuk orang yang shaduq dan hasanul hadits sebagaimana di tuturkan Ibnu Main.

Sedangkan Abu Bakr Al Madani maka para ulama melemahkannya, sebagaimana apa yang di katakan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi. Dan inilah yang menjadikan hadits ini cacat, tidak memenuhi syarat-syarat sebagai hadits yang maqbul(dapat di terima) sehingga di golongkan sebagai hadits yang dhaif dan tidak dapat di jadikan hujjah.

Syaikh Al Albani bahkan menggolongkan hadits ini termasuk dhaif jiddan(hadits yang lemah sekali). [[2]]

Maka anggapan sebagian orang bahwa seseorang yang bertamu ketika hendak berpuasa harus meminta izin dahulu kepada tuan rumah adalah anggapan yang tidak tepat, karena di sandarkan kepada hadits yang dhaif.


[1]. Pengklasifikasian perawi dalam hadits ini berdasarkan ; Mausu’atul Hadits, di Islamweb.net
[2]. Shahih wa Dhaif Sunan Ibnu Majah 4/263 Maktabah Syamilah

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published.