Al Buruuj, Dan Kisah Ashabul Ukhdud

وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ (1) وَالْيَوْمِ الْمَوْعُودِ (2) وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ (3) قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ (4) النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ (5) إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ (6) وَهُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ (7) وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (8) الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (9) إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ (10)

“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah Ashabul Ukhdud, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.” (QS : Al Buruuj : 1-10)

Pendahuluan

Surat Al Buruuj secara global menceritakan mengenai kisah kegigihan suatu kaum dalam memegang teguh aqidah yang mereka miliki meskipun siksaan demi siksaan mereka rasakan bahkan hingga ajal menjemput. Demikian pula surat ini menceritakan tentang Fir’au dan kaum Tsamud yang keduanya telah di hancurkan oleh Alloh Ta’ala.

Namun diantara kisah yang menonjol pada surat ini yang patut kita ambul pelajaran darinya adalah kisah mengenai Ashabul Ukhdud. Siapakah mereka,.? Kita coba uraikan dalam penjelasan di bawah.

Penjelasan Ayat

As Shabuni menjelaskan dalam tafsirnya ; “Surat yang mulia ini di mulai dengan ‘sumpah’ (Alloh) dengan langit yang memiliki gugusan bintang-bintang yang banyak, dan porosnya yang besar, yang berputar padanya gugusan bintang-bintang tersebut. Alloh juga bersumpah dengan hari yang agung, yang di persaksikan, yaitu hari kiamat, dan dengan utusan-utusan dan ciptaan-ciptaan yang berada dalam kehancuran dan kebinasaan di tangan orang-orang yang berdosa. Yaitu orang-orang yang melemparkan orang-orang beriman ke dalam api agar mereka berpaling dari agamanya”. [[1]]

Setiap sesuatu yang Alloh gunakan sebagai ‘qasam’ (sumpah) pasti memiliki manfaat yang besar bagi umat manusia, sebagaimana perkataan para ulama ahli tafsir.

Ibnu Hisyam mengatakan bahwasannya ayat ini mengkisahkan tentang penduduk Negeri Najran. Najran adalah salah satu negeri di Yaman, yang pada saat itu di pimpin oleh seorang raja yang bernama Dzu Nuwas. Beliau mengkisahkan bahwa pada asalnya penduduk Najran merupakan ahli syirik yang menyembah berhala. Di sebuah desa dekat dengan negeri Najran hiduplah seorang penyihir yang mengajarkan ilmunya kepada anak-anak dari penduduk Najran. Lalu datanglah seorang laki-laki bernama Faimiyun. Ia merupakan salah seorang yang tersisa dari agama yang di bawa oleh Nabi Isa –Alaihi as Salam-. Ia adalah seorang laki-laki yang shalih, memiliki sifat zuhud, bersungguh-sungguh dalam berdakwah. Ia juga hanya makan dari usaha kedua tangannya sendiri, dan ketika hari Ahad tiba ia tidak bekerja sama sekali, yang ia lakukan adalah pergi ke padang sahara untuk beribadah shalat di sana hingga sore hari.

Faimiyun lalu membuat tenda di tengah-tengah antara negeri Najran dan desa tempat tinggal sang penyihir. [[2]] Diantara penduduk Najran yang mengirimkan anaknya untuk belajar kepada sang penyihir adalah Tsamir. Ia juga mengirimkan puteranya yaitu Abdullah bin Tsamir untuk ikut belajar kepada sang penyihir bersama-sama dengan anak-anak yang lain. Maka setiap kali Abdullah bin Tsamir melewati tenda Faimiyun ia senantiasa takjub dengan apa yang ia lihat, yaitu shalat dan ibadah-ibadah lain yang di lakukan oleh Faimiyun.

Abdullah bin Tsamir lantas bermajelis kepada Faimiyun, mendengarkan ajaran-ajarannya sampai ia akhirnya masuk Islam. [[3]] Kemudian ia menjadi seorang yang mentauhidkan Alloh Ta’ala dan menyembah-Nya. Makin hari Abdullah bin Tsamir mulai banyak bertanya mengenai syariat Islam yang sesungguhnya, hingga ia menjadi orang yang faqih. Keadaan itu tidak di sadari oleh Tsamir, ia tidak menyangka kalau puteranya telah berpaling dari sang penyihir dan belajar kepada Faimiyun.

Tiap kali Abdullah bin Tsamir memasuki Najran dan bertemu orang yang sedang di timpa musibah penyakit maka ia mengatakan ;

يا عبد الله أتوحد الله و تدخل في ديني و أدعو الله فيعافيك مما أنت فيه من البلاء,.؟ فيقول : نعم

“Wahai hamba Alloh, apakah engkau mau mentauhidkan Alloh dan masuk ke dalam agamaku, aku akan berdoa kepada Alloh agar Dia menolongmu dari musibah yang sedang menimpamu ini,.? Maka orang tersebut lantas berkata ; Baiklah”

Orang tersebut lalu mulai mentauhidkan Alloh Ta’ala dan masuk ke dalam agama Islam. Maka Abdullah bin Tsamir lalu mendoakannya dan ia menjadi sembuh. Demikian seterusnya hingga tidak tertinggal satu pun dari penduduk Najran yang tertimpa musibah selalu di datanginya dan akhirnya mengikuti agama yang ia bawa.

Berita itu sampai kepada Dzu Nuwas penguasa Yaman saat itu, maka ia pun pergi dengan pasukannya ke Najran dengan tujuan mengembalikan agama penduduk Najran ke dalam agama nenek –moyang terdahulunya. Sang raja pun memberikan dua (2) opsi, pertama kembali ke agama Yahudi (agama), atau opsi kedua adalah perang. Namun penduduk Najran lebih memilih untuk berperang, maka di buatlah ‘Ukhdud’. Penduduk Najran akhirnya di bunuh dan di lemparkan ke dalam ‘Ukhdud’ tersebut. [[4]]

Alloh berfirman mengenai mereka, yaitu ‘Ashabul Ukhdud’, ; {Binasa dan terlaknatlah Ashabul Ukhdud”} As Shabuni mengatakan mengenai ‘Ashabul Ukhdud’ ini ; “Mereka adalah orang-orang yang menggali tanah, memanjang dan menjadikannya seperti ‘Khandaq’ (parit), kemudian mereka menyalakan api di dalamnya untuk membakar orang-orang Mukmin”. Sedang Al Qurtubi mengatakan ; “Ukhdud maknanya adalah celah besar memanjang di tanah seperti parit, dan jamaknya adalah ‘akhaadid’. [[5]]

Maka ‘Ashabul Ukhdud’ adalah orang-orang yang menggali celah besar dan memanjang semacam parit, kemudian mereka menyalakan di dalamnya api untuk membakar orang-orang Mukmin. Itulah yang di kerjakan oleh Dzu Nuwas dan bala tentaranya. Mereka membunuh penduduk Najran yang telah beriman kepada Alloh, dan di lemparkan ke dalam api yang telah di nyalakan tersebut.

Alloh Ta’ala mengabarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang terlaknat, dan mereka mendapatkan ancaman siksa dari Alloh Ta’ala. Alloh berfirman ;{Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.”}.

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini ; {Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan} yaitu membakar mereka, {kemudian mereka tidak bertaubat} maksudnya tidak mencabut apa yang telah mereka kerjakan dan tidak pula menyesali apa yang telah mereka perbuat, { maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.”}, ini karena balasan itu sesuai dengan amalan yang di kerjakan. [[6]]

Faidah

Kisah di atas menggambarkan keteguhan orang-orang beriman dalam memegang teguh aqidah yang mereka miliki, karena mereka yakin akan balasan yang akan mereka dapatkan nantinya di hari akhir. Apapun resiko yang mereka hadapi, bahkan hingga jiwa dan raga mereka di renggut untuk itu. Begitu besar pengorbanan mereka untuk mempertahankannya. Sudah seharusnya kita bersyukur kepada Alloh tidak di berikan ujian dan fitnah sedemikian itu, khususnya di negeri ini. Maka seyogyanya bagi kita lebih memanfaatkan nikmat ini dengan memperbanyak amalan ibadah kita kepada Alloh Ta’ala.

Catatan kaki :

[1]. Shafwatu at Tafasir, Muhammad Ali As Shabuni 3/524 Darul Hadits-Mesir

[2]. Dengan tujuan agar anak-anak negeri Najran yang hendak belajar ke sang penyihir melewatinya –pent.

[3]. Perlu di fahami bahwa agama yang di bawa oleh Nabi Isa –alaihi as salam– adalah juga agama Islam yang bersumber dari Alloh Ta’ala, yang juga mengajarkan untuk shalat dan zakat. Hal ini jelas di kabarkan oleh Alloh di dalam Al Qur’an pada surat Maryam ayat ke 30-31 ;

قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا * وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا

“Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup”

[4]. Lihat Sirah An Nabawiyah Ibnu Hisyam 1/38-41 dengan Tahqiq dari Jamal Tsabit, Muhammad Mahmud dan Sayyid Ibrahim, terbitan Darul Hadits-Mesir.

[5]. Shafwatu Tafasir 3/525 terbitan Darul Hadits-Mesir

[6]. Tafsirul Qur’anil Adzim, 8/271 Ibnu Katsir, dengan Muhaqqiq Samiy bin Muhammad Salamah, cet. Ke 2, terbitan Dar Thaybah Lin Nasyr wat Tauzi’

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published.