JANGAN KAU ANGGAP SEPELE,.!
Oleh : Abu Ruqoyyah Setyo Susilo
عَنْ غَيْلاَنَ عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قَالَ إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِىَ أَدَقُّ فِى أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ ، إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُوبِقَاتِ .
“Dari Ghailan dari Anas -Semoga Alloh meridhai beliau- beliau mengatakan ; “Sesungguhnya kalian benar-benar melakukan perbuatan yang di mata kalian lebih lembut dari pada rambut, namun kami menganggapnya pada masa Nabi -Shalallohu ‘alaihi wa Sallam- termasuk satu hal yang membinasakan (dosa besar yang membinasakan).”
Hadits di atas di riwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Imam Ahmad dalam Musnad-nya, Ad Darimi dalam Sunan-nya, Al Hakim dalam Al Mustadrak, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, juga Abu Ya’la dalam Musnad-nya.
SOSOK ANAS BIN MALIK
Beliau adalah Anas bin Malik bin An Nadhar bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundub bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Uday bin An Najjaar Al Anshari An Najjaari. Biasa juga di kenal dengan Abu Hamzah Al Madaniy, ibunya adalah seorang shahabiyah terkenal yaitu Ummu Sulaim binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram. Anas bin Malik merupakan pembantu Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wa Sallam sekaligus sahabat beliau. Tatkala Nabi tiba di Madinah, Ibu beliau Ummu Sulaim membawa beliau menemui Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– seraya mengatakan kepada Nabi ;
يا رسول الله, خذ هذا غلاما يخدمك
“Wahai Rasululloh, ambilahlah ia sebagai anak yang membantu anda,.”
Nabi Shalallohu ‘alaihi wa Sallam pun menerimanya, maka semenjak hari itu beliau senantiasa menyertai Nabi dan membantu beliau. Umur beliau pada saat itu adalah sepuluh (10) tahun, dalam riwayat lain di katakan delapan (8) tahun sebagaimana riwayat Ali bin Zaid dari Ibnu Musayyib.
Alasan yang membuat Ummu Sulaim menghadiahkan puteranya yang tak lain adalah Anas bin malik kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– sungguh membuat kita tercengang. Satu perbuatan yang menunjukkan kecintaan seorang Ummu Sulaim kepada Rosul Alloh. Dalam riwayat yang sama dari Ali bin Zaid dari Ibnu Musayyib di ceritakan pula perkataan lain Ummu Sulaim kepada baginda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;
يا رسول الله إن رجال الأنصار ، و نساءهم قد أتحفوك غيرى ، و إنى لم أجد ما أتحفك به إلا ابنى هذا فاقبله منى ، يخدمك ما بدا لك
“Wahai Rasululloh, sesungguhnya laki-laki dari kalangan Anshar dan wanita-wanita mereka memberikan hadiah kepada anda kecuali saya, dan sesungguhnya saya tidak menemukan (mempunyai) apapun yang dapat saya hadiahkan untuk anda kecuali putera saya, maka terimalah ia sebagai hadiah dari saya agar ia membantu keperluan anda,.” [Ruwah At Tahdzibin, penjelasan mengenai Tarjamah Anas bin Malik, Maktabah Syamilah]
Anas bin Malik yang semenjak kecil membantu keperluan Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– dan tumbuh bersama beliau hingga umur dua puluh (20) tahun pada akhirnya menjadi seorang sahabat yang di kenal banyak meriwayatkan hadits dari Nabi. Tidak kurang dari dua ribu dua ratus delapan puluh enam hadits (2286) bersumber dari beliau. Beliau juga seorang yang shalih, banyak melakukan shalat malam, sampai-sampai darah menetes dari kaki beliau karena memanjangkan shalat malamnya. Tiap kali beliau mengkhatamkan Al Qur’an beliau mengumpulkan putera dan anggota keluarga beliau kemudian beliau berdoa untuk mereka. Beliau juga ikut berperang bersama Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– dalam delapan (8) kali peperangan, lalu tinggal di Madinah, kemudian berpindah ke Bashrah dan meninggal di sana pada tahun ke 93 Hijriyah. Beliau adalah sahabat terakhir yang meninggal di Bashrah. Rasululloh pernah mendoakan beliau dengan barakah pada rizki dan anaknya, dan itu menjadi kenyataan. Pada waktu beliau meninggal jenazah beliau di ikuti sembilan puluh delapan (98) orang putera dan cucu beliau. [Al Fawaid Adz Dzahabiyah Minal Arbain An Nawawiyah halaman 58, terbitan Dar Ibni Khuzaimah]
SYARAH HADITS
Anas bin Malik termasuk salah satu sahabat Nabi yang di karuniai umur yang panjang oleh Alloh, hingga sepeninggal Nabi beliau masih hidup sekitar sembilan puluh-han tahun. Keadaan menjadi berbeda antara pada masa beliau muda dan pada saat usia beliau menginjak senja. Diantaranya adalah beliau menemukan banyak sekali manusia yang mulai meremehkan perkara-perkara yang dianggap sebagai perkara besar pada masa shahabat. Diantara perkara tersebut adalah perkara shalat berjamaah. Para sahabat -semoga Alloh meridhai mereka- tidak ada seorangpun yang meninggalkan shalat berjamaah lima waktu di masjid kecuali orang munafiq, orang yang sakit atau orang yang mempunyai udzur syar’i. Subhanalloh,…
Demikian ketaatan mereka -semoga Alloh meridhai mereka- hingga tidak ada satu pun yang menganggap remeh perkara shalat berjamaah di masjid, kecuali orang munafiq, orang yang sakit, atau pun orang yang benar-benar mempunyai udzur syar’i. Mereka senantiasa mengerjakannya. Dan memang itulah yang tersirat dalam sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang shalat berjamaah ;
إِنَّ أَثْقَلَ الصَّلاَةِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya shalat berjamaah yang peling berat di kerjakan oleh orang munafiq adalah shalat Isya’ dan shalat Subuh.” (HR : Ibnu Majah, Ahmad)
Dalam hadits di atas Nabi mangabarkan bahwa shalat yang paling berat di kerjakan oleh orang munafiq adalah Isya’ dan Subuh, artinya pula bahwa hanya orang munafiqlah yang tidak suka mengerjakan shalat berjamaah di masjid. Itu pada zaman Nabi dan sahabat, namun lihatlah keadaan sekarang ,.!! Dimana shalat berjamaah sudah biasa di tinggalkan, dan orang yang meninggalkannya menganggap hal itu hanya biasa saja, padahal pada masa Nabi dan sahabat hanya orang-orang munafiq saja yang suka meninggalkanya. Tidak hanya itu bahkan saat ini banyak pula orang mengerjakan shalat lima waktu saja masih bolong-bolong,.!
Jika pada tahun-tahun usia senja dari Anas bin Malik saja tatkala beliau melihat keadaan pada saat itu lalu keluarlah ucapan sebagaimana hadits di atas, lantas bagaimana pula sendainya beliau melihat keadaan umat Islam yang semakin jauh dari agama,..?!
Diantara perkara lain yang di anggap remeh oleh sebagian kaum Muslimin saat ini, padahal perkara itu merupakan perkara yang mendapat teguran keras dari Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– adalah perkara tentang praktek kecurangan, beliau bersabda ;
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى
“Barang siapa berbuat curang maka bukan termasuk golonganku,.” (HR : Muslim)
Sikap keras dari Nabi yang berlepas diri dari orang yang melakukannya sebagaimana dalam hadits ini menunjukkan bahwa sikap curang merupakan sesuatu yang besar dan tidak bisa di anggap remeh pada masa Nabi dan para sahabat, namun wal ‘iyadzu billah,.lihatlah kondisi sekarang ini,..! Praktek kecurangan terjadi di mana-mana dan di semua sendi masyarakat. Manusia sekarang tidak lagi menganggap kecurangan sebagai sesuatu yang besar, bahkan mereka menganggapnya sebagai hal yang biasa di kerjakan di masyarakat dan sudah umum. Pedagang dengan kecurangan mereka, pejabat dengan tipu daya mereka, bahkan sampai pelajar-pun biasa melakukan kecurangan dengan mencontek. Ini semua mereka anggap sebagai hal yang biasa, padahal Nabi berlepas diri dari orang yang melakukannya.
Contoh lain dari perkara yang pada masa Nabi dan sahabat di anggap sebagai perkara besar dan tidak bisa di anggap remeh adalah berdusta. Dusta pada masa Nabi dan para sahabat di anggap sebagai salah satu hal yang membinasakan (dosa besar), namun sekarang dusta di anggap sebagai hal yang biasa, bahkan menjadi bumbu yang sedap dalam kehidupan. Maka kita temukan pada masa ini banyak orang berdusta namun ia sama sekali tidak peduli dengan kedustaannya. Padahal berdusta dalam bercanda saja hukumnya haram, apalagi di lakukan sengaja tanpa niat bercanda. Perhatikan sabda Nabi berikut ;
لَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ ، وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ ، حَتَّى يُكْتَبَ صِدِّيقًا ، وَلَا يَزَالُ يَكْذِبُ ، وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ ، حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا
“Seseorang yang senantiasa jujur dan perupaya untuk jujur, hingga ia di catat (di sisi Alloh) sebagai orang jujur. Seseorang yang senantiasa berdusta, dan berupaya untuk berdusta hingga ia di catat (di sisi Alloh) sebagai seorang pendusta.” (HR : Ahmad, dengan sanad yang shahih sesuai syarat Imam Muslim)
Beliau juga bersabda ;
إِنِّـي لَأَمْزَحُ وَلاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًّا
“Sesungguhnya aku bercanda, namun aku tidak mengatakan kecuali kebenaran.” (HR : Thabrani, di hasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’u Az Zawaid, di shahihkan pula oleh Syaikh Al Albani dalam Sahihul Jami’]
Wallohu Ta’ala A’lam,..
[Dalam syarah hadits ini penulis banyak mengambil faedah dari penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Syarhu Riyadhis Shalihin Min Kalami Sayyidil Mursalin, penjelasan hadits ke 63, jilid 1/494-496, terbitan Dar Al Wathan Riyad]
Recent Comments