TIGA (3) AYAT TERAKHIR SURAT AL FATIHAH (Bag. 1)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ * اهدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
“Hanya kepadaMu lah kami menyembah, dan hanya kepadaMu–lah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan dari orang-orang yang telah engkau beri nikmat atas mereka, dan bukanlah jalan orang-orang yang di marahi dan orang-orang yang sesat.” (QS : Al Fatihah : 5-7)
PENDAHULUAN
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa surat Al Fatihah memiliki banyak keistimewaan di bandingkan dengan surat-surat yang lainnya. Banyak sekali riwayat menjelaskan keistimewaanya. Diantaranya adalah hadits Jibril yang di riwayatkan oleh Ibnu Abbas, beliau mengatakan ;
“Ketika suatu hari Jibril duduk di samping Nabi -Shalallohu ‘alaihi wa Sallam- tiba-tiba terdengar suara dari atasnya, Jibril lalu mendongakkan kepalanya ke atas langit seraya mengatakan ; “Ini merupakan suara salah satu pintu langit yang baru di buka hari ini dan tidak pernah di buka sebelumnya.” Lalu keluarlah darinya Malaikat, Jibril menjelaskan ; “Sesungguhnya Malaikat ini turun ke bumi dan ia belum pernah turun kecuali hari ini.” Maka lantas Malaikat itu datang kepada Rasululloh -Shalallohu ‘alaihi wa Sallam-, kemudian memberkan salam kepada beliau dan berkata ; “Wahai Muhammad, bergembiralah dengan ‘nurain’ (dua cahaya) yang belum ada seorang Nabi pun di berikan dua cahaya itu kecuali engkau, yaitu surat Al Fatihah dan akhir dari surat Al Baqarah. Tidaklah engkau baca satu huruf darinya kecuali engkau akan di berikan atas apa yang engkau baca.” (HR : Muslim dalam shahihnya)
Demikian pula dalam riwayat yang panjang dari Abu Sa’id, yang mana di jelaskan bahwa surat Al Fatihan merupakan Ruqyah yang bisa mengobati, bahkan dari sengatan binatang yang berbisa. Abu Sa’id menceritakan ;
انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا حَتَّى نَزَلُوا عَلَى حَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ ، فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ ، فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الْحَىِّ ، فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَىْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ شَىْءٌ ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ نَزَلُوا لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَىْءٌ ، فَأَتَوْهُمْ ، فَقَالُوا يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ ، إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ ، وَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَىْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ ، فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَىْءٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ نَعَمْ وَاللَّهِ إِنِّى لأَرْقِى ، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضِيِّفُونَا ، فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلاً . فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنَ الْغَنَمِ ، فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ وَيَقْرَأُ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ) فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ ، فَانْطَلَقَ يَمْشِى وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ ، قَالَ فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِى صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ ، فَقَالَ بَعْضُهُمُ اقْسِمُوا . فَقَالَ الَّذِى رَقَى لاَ تَفْعَلُوا ، حَتَّى نَأْتِىَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِى كَانَ ، فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا . فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرُوا لَهُ ، فَقَالَ « وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ – ثُمَّ قَالَ – قَدْ أَصَبْتُمُ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِى مَعَكُمْ سَهْمًا » . فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
“Suatu hari sekelompok sahabat Nabi melakukan perjalanan jauh. Di tengah perjalanan mereka singgah di sebuah kampung kabilah Arab. Mereka bertamu, namun penduduk kampung enggan untuk menjamu. Tiba-tiba kepala kampung tersengat binatang berbisa. Penduduk kampung berusaha untuk mengobati dengan segala cara, namun tidak berhasil. Ada di antara mereka yang usul, ‘Andaikan kalian mendatangi sekelompok orang yang baru tiba, siapa tahu ada di antara mereka yang memiliki sesuatu.’ Merekapun mendatangi para sahabat Nabi -Shalallohu ‘alaihi wa Sallam- seraya berkata, ‘Wahai bapak-bapak, pembesar kami tersengat binatang berbisa, dan kami telah berusaha dengan segala cara untuk mengobatinya namun sama sekali tidak bermanfaat. Apakah ada di antara kalian yang memiliki sesuatu?’ Sebagian sahabat menjawab, ‘Ya, demi Allah saya bisa mengobati. Namun, kami telah bertamu tetapi kalian enggan menjamu kami. Saya tidak akan mengobatinya kecuali setelah kalian berjanji akan memberi upah.’ Mereka pun bersepakat untuk memberi segerombolan kambing. Lalu, sahabat tadi menghembus nafas berserta sedikit ludah dari mulutnya dan membaca Alhamdulillahirabbil’alamin. Detik itu juga si kepala kampung bangkit dan bisa berjalan, seolah tidak terkena apapun. Merekapun memenuhi janjinya untuk memberi upah. Sebagian sahabat berkata, ‘Bagilah.’ Orang yang meruqyah menjawab, ‘Jangan lakukan kecuali setelah kita mendatangi Rasululloh -Shalallohu ‘alaihi wa Sallam- dan menceritakan kejadian ini. Lalu kita lihat apa yang diputuskan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Sesampainya di depan Rasul -Shalallohu ‘alaihi wa Sallam- mereka bercerita. Beliaupun bersabda, ‘Dari manakah engkau mengetahui bahwa surat al-Fatihah adalah ruqyah (obat)?!. Apa yang kalian lakukan benar, bagikan (kambing tersebut) dan beri aku bagian.’ sembari beliau tersenyum.” (HR : Bukhari dalam shahihnya)
Serta masih banyak riwayat-riwayat lain yang menunjukkan keistimewaan surat ini.
Tafsir Ayat
Firman Alloh {‘Iyyaa Ka na’budu’}, kata-kata {‘Iyyaa Ka’} merupakan ‘maf’ul bihi muqaddam’ (obyek yang di dahulukan), sedang ‘amil-nya’ adalah {‘na’budu}. Adapun tentang kenapa ‘maf’ul’ (obyek) lebih di dahulukan dari pada ‘amil-nya’ adalah untuk pembatasan. Maka makna sebagaimana susunan kalimat dalam firman Alloh {‘Iyyaa Ka na’budu’} adalah {“kami tidak menyembah kecuali hanya kepada Engkau wahai Alloh”}.
Sedangkan firman Alloh {‘na’budu} maknanya adalah kami menghinakan diri kepadaMu dengan sebenar-benar penghinanaan. Oleh karenanya kita dapatkan seorang Mukmin tatkala ia melaksanakan ibadah shalat ia meletakkan tempat yang paling mulia dalam jasadnya pada tempat yang paling rendah. Tatkala ia sujud ia meletakkan kepalanya di tempat yang paling rendah yaitu kaki. Ia sujud di tempat yang di penuhi debu dan tanah. Maka ini merupakan bentuk penghinaan diri kepada Alloh Azza wa Jalla.
Dalam ibadah tercakup di dalamnya mengerjakan semua apa yang di perintahkan oleh Alloh dan meninggalkan seluruh apa yang di larangNya. Barang siapa yang tidak demikian maka ia tidak dapat di sebut sebagai ‘abid (hamba). Jika seseorang tidak mengerjakan perintah yang di perintahkan atasnya, dan meninggalkan larangan yang di larang darinya maka ia bukan seorang hamba yang sebenarnya. Al Abdu (hamba) adalah yang sejalan dengan al ma’bud (yang di sembah) dalam perkara-perkara syariat. Maka ibadah berkonsekwensi pada mengerjakan apa yang kita di perintahkan atasnya, dan meninggalkan apa yang kita di larang darinya.
Namun ibadah tidaklah mungkin dapat kita tegakkan kecuali atas pertolongan dari Alloh. Oleh karenanya Alloh berfirman {‘Wa Iyyaa Ka nasta’iin’}, maksudnya adalah “kami tidaklah meminta pertolongan kecuali hanya kepada Engkau wahai Alloh dalam hal mengerjakan ibadah, ataupun selainnya.”
Diantara faidah ayat ke empat (4) di atas adalah ;
- Mengikhlaskan ibadah hanya untuk Alloh Ta’ala saja, ini di tunjukkan dalam ayat di atas ketika ‘maf’ul-nya lebih di dahulukan dari pada ‘amil’, sebagaimana firmanNya {‘Iyyaa Ka na’budu’}.
- Mengikhlaskan isti’anah (minta pertolongan) hanya kepada Alloh Ta’ala saja. Ini juga di tunjukkan dalam ayat di atas ketika ‘maf’ul-nya lebih di dahulukan dari pada ‘amil’ sebagaimana firmanNya {‘Wa Iyyaa Ka nasta’iin’}
Jika ada pertanyaan ; Bagaimana kita mengikhlaskan isti’anah (meminta pertolongan) hanya kepada Alloh saja, sementara pada ayat lain Alloh juga berfirman,..? ;
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“’.tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS : Al Maidah : 2)
Jawabanya adalah,……..(insyaAlloh kita jelaskan pada tulisan berikutnya)
[Maraji’ ; Tafsir Juz Amma karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsamin terbitan Darul Kutub Al Ilmiyah]
Recent Comments